mutiara hikmah

Frame4

i love it .

,.saya suka sekali ^_^

Senin, 01 September 2014

mentari

Sinar mentari pagi mengusikku. Kumulai hari dengan meregangkan badanku kemudian menuju dapur yang didominasi warna natural kayu, ukuran dapur 2 x 4 meter sederhana membuatku senang di dalamnya. Ternyata pagi itu ita tengah sibuk mempersiapkan sarapan. Mmmm dari baunya Ita sedang menyiapkan menu favoritku  bubur ayam jakarta dan telur bacem sebagai temannya. Ita sapaanya atau Indah Puspita seorang gadis jelita yang menjalani hidupnya sebagai wanita karier, yang kesepian karena terpisah dari keluarganya dua bulan yang lalu akibat gempa 6,8 skala richter. Aku sendiri sudah bersamanya semenjak 2 bulan yang lalu juga. Aku pun sama kehilangan semua familiku pada peristiwa itu.Peristiwa yang sangat mengerikan hancur dimana-mana beratus orang mati karena tertimpa rumah, pohon bahkan ada yang mati karena terperosok ke dalam lubang, orang-orang berlarian. Anak-anak kecil menangis, semua yang ada di muka bumi beterbangan bagai mainan yang dilempar anak-anak.
“ehh Dion sudah bangun rupanya” suara lembutnya mengagetkanku. Kuhampiri Ita dan kutempelkan badanku dengan manja.
‘Dah laper ya? Nih yuk kita makan, hari ini kubuatkan menu favoritmu telur bacem” Ita mengelus kepalaku kemudian mengambil semangkuk bubur ayam dengan sebutir telur untuk dimakannya dan sebuah piring kecil dengan dua butir telur. Aroma telur bacem mengusir rasa kantuk semalaman karena menemani Ita yang menangis karena melihat-lihat album foto keluarganya. Tanpa bisa menunggu lama dua butir telur yang rasanya seenak baunya segera saja habisku santap.
“enak ya, koq cepat sekali habisnya” sambil tersenyum Ita berkata padaku. Dibalik senyumnya dapat kurasakan kesedihan karena kehilangan. Segera saja terbayang Ita saat pertama kali bertemu denganku. Seorang dara berdarah jawa dengan kulit kuning langsat, dengan paras menawan dan tinggi yang di atas rata-rata untuk seusianya sehingga sangat menunjang karirnya sebagai chief creative designer Tv swata ternama, cuman pada saat itu mukanya lusuh penuh dengan kesedihan, jarang bisa tersenyum, mukanya pucat karena tertekan dengan semua masalah  dan pikirannya. Berhari-hari dilaluinya tanpa arti, dan saat itulah aku datang menghiburnya, menemaninya saat ia kesepian. Aku berusaha untuk tetap tegar di hadapannya walau aku juga merasakan rasa kehilangan yang sama. Dan kini setelah hari-hari yang berat dilalui akhirnya Ita mulai bisa menerima segala kehilangan Ayah satu-satunya yang membesarkannya sedari kecil tanpa kehadiran seorang ibu.
“Yuk kita ke kamar” Ita membawaku ke sebuah ruangan yang tidak terlalu besar dengan berbagai macam pernak-pernik boneka dan banyak foto yang ditempel di dinding ruangan. Seperti biasanya aku diajaknya untuk bersama menulis diary di sebuah laptop Hp berwarna pink. Biasanya diarynya ditulis saat malam hari sebelum tidur, tapi kali ini hari minggu dan Ita tidak sedang malas untuk ikut misa di gereja yang terletak beberapa blok dari rumahnya. Dia merasa percuma untuk menghadiri misa itu karena hatinya malah semakin tidak tenang karena ia selalu teringat akan ayahnya yang saat itu menemui ajalnya saat sedang bermisa di gereja. Walau pun dulu ia seorang katolik yang taat dan selalu pergi bersama ke gereja di temani oleh ayahnya.
“Tit, tit, tit, tit” sebuah e-mail masuk komputernya, tertanda kiriman dari kantor untuk proposal yang harus ia susun sebelum tenggat waktu.
“Tit, tit, tit’ kali ini 3 buah e-mail sekaligus masuk yang pertama tidak asing lagi dari cynthia rekan kerjanya yang akrab tentang rencana liburan panjang minggu depan dan beberapa tempat liburan beserta fotonya. Kemudian yang kedua dari perusaahan kartu kredit mengenai tagihan dia bulan ini. Kemudian yang ketiga kok aneh
“Zaenal, Tolong jangan lupa kirimkan dana yang kami butuhkan untuk bantuan tahap selanjutnya kami benar-benar membutuhkan sesegera mungkin mengingat mendesaknya waktu untuk ujian anak-anak di tempat kami hormat kami Ali-BAZIS” e-mail ini beserta beberapa foto kegiatan belajar mengajar anak-anak yang rata-rata masih setingkat SD, hanya saja mereka berpakaian seperti teman-teman perempuan kantornya, memakai penutup kepala tetapi masih menampakkan muka mereka. Ita termenung memperhatikan melihat foto wajah-wajah polos di hadapannya. Kemudian tangannya menutup e-mail itu dan memulai menulis diarynya tentang rindunya kepada sang ayah. Sesekali ia menghela nafas kemudian melanjutkan menulis kembali. Aku pun hanya bisa memandanginya. Lima belas menit kemudian ia menyimpan file diary lalu membuka propsal yang harus dikerjakannya. Setengah jam terlewati tanpa satu huruf terketik, wajah-wajah anak-anak polos yang ia lihat di e-mail yang salah alamat itu selalu membayanginya. Akhirnya ia memutuskan untuk mentrasfer lima ratus ribu ke rekening yang ada pada e-mail itu dengan yakin bahwa ia tidak akan ditipu orang. Kemudian ia membalas e-mail itu.
“maaf e-mail saudara salah alamat. Tetapi saya turut bersimpati dengan ini saya juga turut mentransfer lima ratus ribu untuk membantu anak-anak, maaf bila saya tidak sopan. Ttd Indah puspita”
Tiga hari kemudian di kamar saat malam hari…
Aku sedang bermain-main di atas kasurnya dengan bola benang yang di belikan Ita buatku. Tak lama kemudian Ita keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan muka yang segar setelah seharian disibukkan oleh berbagai macam aktifitas. Kemudian Ita mengeringkan rambutnya dengan handuk lalu mengikatnya dikepala seperti topi.
“ Dion sini” Ita menarikku ke sampingnya sambil menyalakan laptop seperti biasa untuk menulis diary. Aku memperhatikan ke layar laptopnya ada dua e-mail masuk. Kemudian Ita membuka yang pertama yaitu dari kantor seperti biasa. Tetapi e-mail yang kedua isinya
“Terima kasih saudara/i untuk membantu pendidikan anak-anak kami sehingga mereka tetap dapat terus bersekolah, kami meminta maaf atas kesalahan pengiriman e-mail. Untuk partisipasi saudari kami mengundang saudari untuk hadir dalam acara pentas seni kami yang insya allah akan kami adakan pada hari jum’at jam 08.30 sampai dengan 10.00. untuk kehadiran saudara/i kami ucapkan ribuan terima kasih. Ali-BASIZ”Ita tersenyum simpul, kemudian ia melihat jadwal kegiatannya, dan ternyata hari itu memang kosong.
“Dion, gak ada salahnya kan sekali-kali kita ikut undangan orang” Ita berkata sambil mengangkatku kemudian meletakkanku ke tempat tidurku.
“Tidur yang nyenyak ya, esok kita akan coba datang ke tempat baru” Ita menepuk kepalaku kemudian pergi untuk tidur.
Esok harinya di tempat tujuan ….
Suasana semarak tampak dikitar panggung kecil di halaman madrasah ibtiba’diyah 2 puluhan orang sedang duduk rapi di depan panggung menunggu penampilan-penampilan acara. Ita tampak canggung untuk memasuki area sekolahan itu. Ia ragu-ragu untuk melangkah, Ita mempehatikan ia cukup berbeda dari yang lain. Di sana semuanya tampak bersih dan anggun bagi perempuannya walau pun mereka tidak menampakkan rambut mereka. Dan untuk prianya tampak teduh dan berwibawa dengan pakaian yang rata-rata berwarna putih. Segera ia ingin pergi karena malu ia berbeda dari yang lainnya.
“Mbak, maaf ada yang bisa saya bantu” suara seorang pemuda membuatnya mengehentikan langkahnya. Kemudian saya berpaling
“Mbak mencari siapa? Maaf mbak saya Ali pengelola madrasah Ini” sesosok pemuda yang tak berbeda jauh umurnya beberapa tahun lebih tua namun badannya yang tegap, dan air mukanya yang tenang memancarkan wibawa seorang pemimpin.
“Saya Indah” Ita berkata dengan ragu-ragu
“Alhamdulillah, jadi saudari yang bernama Indah kami sudah menunggu dari tadi. Silahkan, silahkan mari duduk” Senyuman Ali membuat Ita merasa tenang karena ia bertemu paling tidak dengan orang yang mengundangnya. Itan menonton acara yang pertama kali dihadirinya seumur hidup. Selama acara tampak keceriaan yang menampilkan acara nasyid.
“Mbak maaf kucingnya kalau mengganggu biar saya bawa?” Kata ali yang sekarang turut bergabung duduk di sebelahnya.
“makasih, Dion gak menyusahkan koq” Tia menjawab dengan senyum simpul.
“Mbak, Indah sebetulnya saya benar-benar terkejut saat saya mendapati e-mail saya terkirim ke alamat lain, mungkin saat itu saya benar-benar bingung. Saya bingung dengan nasib anak-anak ini, karena mereka kekurangan biaya untuk mengikuti ujian” Ali menjelaskan sambil sesekali bertepuk tangan dan memperhatikan acara. Setelah itu Ali menjelaskan struktur keorganisasian sekolah dan kenapa ia mau mengelola sekolah yang mayoritas diisi oleh anak ekonomi menengah ke bawah. Dan seharian ia lewati setelah acara untuk bercanda dan berbincang dengan anak-anak, berbagi kesusahan dan kesenangan.
Malam hari di kamar Ita…
“Ita bangun, ita bangun” aku berusaha membangunkan ita tapi yang keluar dari mulut ku hanya suara mengeong.
“Ehhhh, Dion, oyaaa aku mau nulis dairy makasih bangunin aku ya” ita mengusap matanya  lalu menepuk ringan kepalaku. Kelelahan memang, seharian keluar ke tempat baru. Ita memulai menulis diarynya  sesekali jarinya tercekat, kemudian melanjutkan dengan tersenyum sendiri, aku pun bingung kenapa.
“Dion, hari ini hari yang baru. Aku merasa bebas seperti lepas dari segala masalah.” Aku hanya bisa mendengkur lembut dibelainya.
“Dion, kenapa aku gak bisa lupa dengan Ali ya? Rasanya seperti pernah bertemu. Dan setiap kata-katanya teduh dan sejuk rasanya bahkan lebih teduh dari saat aku ke gereja” Ita mengangkat ku ke atas, aku hanya bisa pasrah dan berusaha menggapai ke bawah. Meskipun umurku sudah 3 tahun sekarang tapi aku masih takut dengan tinggi.
“Dion, besok ke gereja yuk sudah lama kan gak ke gereja. Sapa tau Romo david masih di sana”. Ita mengakhiri diarynya dan mengirim konsep tugasnya lewat- e-mail ke kantornya kemudian mematikan lampu terus tidur.
Minggu pagi di halaman gereja st.Thomas..
Ita berjalan menuju ke bangunan yang sudah beberapa bulan tidak dimasukinya lagi. Di dalam tampak jema’at sedang berdoa dan mendengarkan romo yang sedang berkhutbah. Ita meletakkanku di bangku sampingnya bersama tas jinjingnay lalu duduk.
“Dion jangan ributnya,” “Meong” aku mengeong lemah tanda setuju. Ita mulai mengeluarkan rosarionya lalu memanjatkan doa sambil mendengarkan romo david, pendeta yang selalu mendukungnya saat dia kehilangan orang yang dicintainya. Aku bingung melihat Ita, kok dia semakin tidak tenang, alis matanya berkerut-kerut tanda memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian acara sudah selesai dan para jemaat satu demi satu pulang meninggalkan gereja. Tapi Ita tetap saja berusaha memejamkan mata untuk berdoa. Walau tampak raut mukanya seperti memikirkan sesuatu
“Indah……., betul ini Indah?…..”Seorang laki-laki menyapanya
Ita terbangun oleh suara itu lalu melihat siapa yang memanggilnya”Rama david, ada apa rama?”
“meong” Aku pun mencoba bertanya.
“Ehh dion di sini juga” Romo langsung tersenyum melihatku yang berputar putar dalam kandang di samping Ita.
“Indah, romo lihat akhir-akhir ini kamu jarang ke gereja kenapa? Apa ada masalah serius ?
“Nggak ada kok romo, cuma  Indah sedang banyak kesibukan akhir-akhir ini” Ita menjawab dengan nada datar, sambil memasukkan rosarionya kembali dan memegang kandangku bersiap untuk pergi.
“Tring, triing, triiing,” handphone Ita berbunyi lemah
“maaf ya romo” Ita menatap dengan menyesal. Romo mengangguk membolehkan kemudian Ita menjawab telepon itu dengan serius. Rupanya ada hal penting yang harus segera dilaksanakan.
“Romo Indah mau permisi dulu, ada masalah penting di kantor” Indah menutup telepon dan memasukkannya ke mbali ke tas jinjingnya.
“Indah jangan malas-malas ke gereja ya? Kalau ada yang romo bantu jangan malu-malu untuk dibicarakan” romo menasihati sebelum indah melangkah dengan ringan keluar gereja. Dengan segera ia menuju ke rumahnya
“tring, triiing, triiiing” Telepon berbunyi lagi, Ita pun segera menjawabnya.
“Apaa!!! Koq bisa nanti segera saya kirim yang baru, kapan deadlinenya, haaah!! Besok, Ok biar saya selesaikan dengan segera” Ita pun segera mempercepat langkahnya ke rumahnya yang dari jauh lebih mirip rumah dengan kebun. Rumah Ita mirip dengan rumah kaca yang dipenuhi dengan tanaman di bagian luarnya. Aku Cuma bisa protes mengeong-ngeong.
“Uhh maaf ya dion proposalku ada masalah dah kamu main sendiri ya,?” Ita membuka kandang dan melepaskan ku di ruang tamu. Kemudian bergegas menuju kamarnya. Aku mengikutinya dari belakang menuju kamarnya. Tampak ita mengacak-acak rak buku yang ada di bawah kasurnya mencari-cari lembaran demi lembaran. Setelah ia menemukan yang di cari langsung ita menyalakan laptop dan memulai mengetik. Aku masuk dengan perlahan lalu melompat ringan ke sampingnya dan mengelus-eluskan kepalaku ke lengannya. Tapi tampaknya Ita sudah terlalu terfokus dengan pekerjaanya. Jemarinya yang lentik melompat-lompat lincah di atas papan tuts keyboard. Tampak di layar kalau Ita sedang memperbaiki sesuatu. Aku pun berbaring menemaninya tak lama kemudian rasa kantuk membuatku terlena. Aku merasa ada yang geli di telingaku, ku gerak-gerakkan, tapi semakin geli, tanganku pun menutup telingaku. Eeh tetapi malah semakin geli sejarang seluruh perutku
“meong” ku buka mata dan melihat ternyata Ita sudah berada di sampingku.
“dion makan yuk dah malam” ita melangkah bangkit ke luar kamar. Lampu-lampu di rumah sudah menyala semua sebagai tanda hari telah malam. Aku bergegas menuju dapur di sana Ita sudah mulai makan dan  duduk di meja makan sementara di bawah meja ada semangkuk susu. Aku mulai minum susu untuk menghilangkan rasa lapar yang mulai terasa. Tampak kalau Ita sedang benar-benar menikmati makan malamnya dari baunya sepertinya makan malamnya nasi goreng dengan telur. Tak lama kemudian ita tampak sibuk menghubungi seseorang.
“Ya, ya, ya nanti saya segera selesaikan dan langsung saya kirim” Ita menutup telepon dan segera menyelesaikan makannnya. Lalu berlalu menuju kamarnya tanpa memperdulikanku. Suara angin keras di luar menandakan akan segera turun hujan. Aku memandangi sekitar rumah yang cukup luas ini, ternyata semenjak kejadian itu Ita jarang bahkan tidak pernah untuk menyentuh beberapa barang seperti Tv, tape, dan beberapa rak buku cerita di ruang tamu. Semuanya sekarang hanya sebagai pajangan saja. Ita tidak lagi memfungsikan mereka karena ia sudah tenggelam dengan pekerjaannya. Setelah susu di mangkukku habis aku segera meyusulnya memasuki kamarnya yang ternyata tertutup. Aku mengeong keras beberapa kali tapi nampaknya ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Maka aku pun pergi ke depan rumah untuk menikmati hujan di malam hari yang mulai turun berupa rintik-rintik hujan. Angin keras yang bertiup berganti menjadi angin malam yang tenang dingin dan menusuk tulang, seiring bertambah derasnya hujan bertambah tenanglah tiupan angin. Lampu kamar Ita menyala terang walau sekarang sudah larut malam. Tikus-tikus berlarian disela-sela tanaman yang diguyur hujan. Aku sendiri tidak bisa berbuat banyak kecuali menemaninya, tetapi kali ini sepertinya Ita tidak ingin ditemani. Sejam kemudian hujan pun mereda. Seorang pemuda yang pernah kutemui lewat dengan perlahan menghindari genangan air. Aku mengikuti Ali dari belakang tampak kalau ia sehabis berteduh karena kehujanan. Tak lama ia berjalan kemudian dia berbelok ke sebuah gang kecil menuju rumah kecil yang tersusun dari papan. Ali membersihkan kakinya dengan air dari kran di depan rumahnya kemudian masuk ke dalam rumah dengan menaruh rapi sandalnya di depan beranda. Ketika ia menutup pintu rumahnya tiba-tiba ia berhenti.
“Pus, Pus Pus, ia memanggilku” Rupanya ia mengetahui kedatanganku. Aku segera masuk ke rumahnya yang diterangi lampu neon, sangat berbeda jauh sekali dengan rumah Ita. Ali memiliki ruang tamu yang tersusun dari empat buah kursi dari kayu dengan ruangan di penuhi tulisan kaligrafi yang subhanallah indahnya, kaligarafi seperti itu memang belum pernah aku lihat sepertinya goresan tangan sendiri.
“Pus,Puss” Ali kembali memanggilku. Segera kudatangi dia yang sekarang memegang sepiring kecil dengan ikan goreng yang kemudian diletakkan di depanku. Aku tahu ini untukku maka tak kusia-siakan lagi segera saja ku makan ikan goreng pemberian Ali itu.
“Ehh, Kamu dion kan?kucing mbak ita kapan hari lalu?” Ali mencoba untuk menebak. Aku mengiyakan dengan mengeong, kemudian setelah itu mendengkur manja disampingnya.
“kamu lapar ya? Cepat sekali habisnya?tapi sayang saya sudah tidak ada ikan lagibuat kamu maaf ya?”Kata-kata tulus yang meluncur dari mulutnya membuatku terenyuh.
“Oh.. Yaaa!! Aku ada telur goreng “ Ali bangkit dengan bersemangat dari duduknya untuk mengambil telur goreng yang tinggal setengah.
“Ini masih ada, sebetulnya buat sahur nanti, tapi gak apa-apa saya sudah sering makannya” Aku menciumi telur ini yang sangat menggugah seleraku. Aku ingin memakan semua tapi aku tidak tega. Maka kumakan sebagian telur itu lau aku mengeong.
“Dah gak lapar lagi ya? Ya udah “ . Aku gak tega melihat ketulusan hatinya maka dengan segera aku ingin kembali ke rumah ita dan memberitahu akan ketulusan Ali.
“Mau pulang ya? Sini lewat depan “ Ali berjalan menuju pintu depan dan membukanya. Segera aku  berjalan keluar dari jauh aku masih bisa mendengar kalau dia berkata jangan malu-malu main kemari. Sesampainya Di rumah Ita, Ternyata rumahnya sudah di kunci semua. Maka aku masuk dari lobang di pintu yang memang dipersiapkan untukku. Tapi dari luar masih tampak bahwa Ita masih belum tidur padahal menjelang pagi. Lampu kamarnya masih terang menyala, dan di dalamnya terdengar sayup-sayup musik instrumen Richard Claderman, aku sudah merasa capek dan mengantuk karena berjalan-jalan maka, langsung rebahkan badan ku di atas kasur ku disebuah keranjang di ruang tamu dan aku pun terlelap. Hari demi hari Ita makin sibuk dengan kerjaannya, ita makin jarang bermain denganku.paling-paling hanya mengajakku makan pagi dan makan malam sementara untuk makan siang aku di siapkan makanan instant yang enak baunya tapi hambar rasanya. Dengan makin sibuknya Ita jadi tiap malam aku main ke rumah Ali, entah kenapa setiap memasuki ru mah itu perasaanku menjadi tenang dan bahagia. Apalagi saat Ali sedang membaca ayat-ayat Qur’an. Suaranya memang tidak merdu tetapi menenangkan hati, segala rasa capai dan penatku seharian terobati oleh nikmatnya alunan bacaan al-Qur’an. Berjalan dengan keadaan seperti ini yang hampir tiap malam maka aku menjadi kawan akrab Ali dan ia pun memanggilku dengan Dion. Aku pun sering berandai-andai apabila suatu saat Ita seperti ali pasti aku akan lebih betah lagi di rumah.
Esok paginya di dapur rumah Ita…
Ita sudah bangun seperti biasa dan menyiapkan makanan untuk berdua. Kali ini menunya capcai dan bakso udang goreng. Setelah kami makan pagi ita kembali ke kamarnya dengan segera dan meneruskan kerjaannya semalam. Aku berputar-putar di di depannya, menarik-narik kaosnya.
“Ahhh, Dion kenapa sih” Ita mulai merasa terusik. Aku pun mengambil bola benang yang sering aku mainkan lalu aku lempar dan mainkan ke sana dan ke mari.
“Ohh mau main ya? Boleh kayaknya sudah lama gak main bersama ya?” ita segera mensave file di  laptopnya kemudian menutupnya dan mulai bermain denganku.
“Tit, tit, tit,” weker di hp Ita berbunyi
“Aduh Dion udah waktunya aku kerja dah dulu ya mainnnya?” Ita ingin pergi kerja, tapi kali ini aku tidak membiarkan dia untuk pergi begitu saja. Aku tempel erat kakinya dan menempelkan badanku ke kakinya dan mengeong tanpa henti.
“Ok, ok kamu boleh ikut tetapi gak boleh bikin ribut nanti di kantor” mendengar itu aku pun senang dan langsung diam. Tak berapa lama kemudian kami pergi ke kantor TV swasta dengan taksi.
“Pagi bu, Pagi bu, Pagi bu,” Setiap orang yang melewati Ita selalu menyapa dan memberikan senyum ramah, namun Ita hanya membalas dengan senyumnya yang menawan.
“Hei kok telat datangnya” suara cewek menyapanya dengan riang dari belakang, Ita menoleh ternyata itu cynthia.
“Ah, gak apa-apa Cuma Dion hari ini gak mau ditinggal di rumah” Tia menunjukkan ku pada Cynthia.
“kok gak pakai kandang nanti lepas lho” cynthia membalas dengan sedikit kawatir.
“gak apa-apa dion jinak kok, pegang aja” Cynthia mengulurkan tangannya takut-takut aku membalas belaian kaku tangannya dengan dengkuran manja.
“Eh iya, jinak banget. Lucu ya?, tia kerjaan kamu yang kemarin dah masuk ke pimpinan produksi gak biasanya susah. Biasanya juga langsung masuk.” mengiringi Tia duduk dicubiclenya.
“Yah, paling-paling rating tiba-tiba merosot, namanya juga banyak saingan” tia mencoba menjawab dengan alasan. Ternyata kerjaan Tia lebih banyak dan Ia tampak lebih capek kalau di kantor. Meskipun banyak orang di sini tetapi tak satu pun yang sempat berbicara satu dengan lainnya saat jam kantor mulai aktif. Hawa AC yang sejuk membuatku mengantuk tetapi aku merasa ada yang aneh kantor ini. Sejuk AC semakin membuatku terlena sesaat aku akn tidur, tiba-tiba hidungku mencium bau tebakar. Awalnya kukira hanya sekedar bau-bauan biasa, tapi makin lama makin keras baunya.
“meong. Meong, meong” aku mencoba memberitahu Ita dan mencoba keluar dari ruangan itu.
“eh kucing sapa tuh”, “ Ihh ada kucing” “Oi kucing sapa nih koq di bawa kemari”Teman-teman sekantor Ita riuh karena tingkahku. Ku melompat dari satu meja cubicle ke meja yang lain, aku meliuk ke kiri saat akan di tangkap oleh satpam. Jantungku makin berdebar kencang dan bau terbakar makin menusuk di hidung. Aku pun semakin panik melihat ke sana dan kemari untuk mencari jalan keluar dari ruangan ini, tetapi aku harus mengingatkan Ita untuk segera keluar dari tempat ini.
“Dion sayang kemari”aku mendengar suara Ita mengejarku dari belakang. Aku pun ingin datang tapi pasti Ita akan memegangku dan aku tidak akan bisa keluar dari sini dan aku akan terjebak disini. Tiba-tiba di ujung ruangan aku melihat ada sebuah pintu terbuka, dengan secara reflek aku menghindari beberapa tangan yang melintas di depanku untuk menangkap. Setiba di dalam ruangan itu ternyata ruangan itu agak remang dengan dua tangga ke atas dan ke bawah . Dengan dua pilihan dimana bau terbakar semakin terasa dari arah bawah akhirnya ku putuskan tuk berlari ke bawah dengan perasaan cemas aku mengeong terus agar Ita terus mengikutiku.
“Diooon mau kemanaaa jangan lari terus” suara Ita menggema di belakangku dengan langkah kakinya yang ringan. Aku terus menuruni tangga hingga ruang lobi dan mengarah ke pintu keluar dan tiba-tiba
“ahh kena juga akhirnya? Kamu dion” tangan Ita mengangkatku dan segera memberikanku ketenangan dengan memelukku.
“Kayaknya Kucing lu kena sesuatu deh kok tiba-tiba dia lari-lari kaya kesetanan jangan-jangan ia takut dengan lingkungan baru” kata cynthia dengan nafas memburu yang baru menyusul datang ke lobi dari arah tangga darurat yang baru kami lewati.
“Ahh iya kali ya tapi baru kali ini dion panik, biasanya di mall aja dion tenang-tenang aja gak kayak tadi mungkin ada yang lain atau kali dia rindu rumah, sori ya, tolong sampekan sama yang lain kalau aku pulang dulu aku ya” Ita bersalam pipi dengan Cynthia.
“Dah dion, jangan nakal lagi ya?” cynthia mengelus kepalaku
Tak lama kemudian sore hari di rumah Ita…
“ayo diminum dulu kamu laparkan seharian lari-lari di kantor kan” ita meletakkan semangkuk susu dan mengelus kepalaku. Ita segera masuk kamarnya. Dan aku segera saja yang memang sudah lapar dan capek lari-lari langsung menghabiskan semangkuk susu hangat.
“yuk liat acara kesukaanmu” Ita yang sudah berganti kaos dan celana training mengangkatku dan menuju ke depan tivi. Kulihat ditangan kanan ita memegang Mie instant sepertinya ia kelaparan juga.
“maaf kami sela acara anda” suara Tv yang tidak biasanya, di sana tampak seorang paruh baya dengan latar bangunan yang tadi siang kukunjungi dengan sebagian terbakar dan api menyala-nyala di beberapa bagiannya.
“Prang, ap…”mangkok mie instant berantakan pecah di lantai keramik putih itu.
“Meong” teriakku ke ita yang tiba-tiba berdiri membuatku kaget. Ita segera berlari keluar rumah. Aku pun mengikutinya mukanya yang tadinya tenang mendadak berubah pucat. Ita berlari dengan pakaian kaus yang belum diganti. Tampak disudut matanya ada butiran-butiran air yang keluar. Ita menggigit bibirnya sambil berlari. Langkah demi langkah yang membuat Ita tampak semakin pucat.
Di depan Gedung Tv 3
Riuh orang mengilingi gedung yang lebih mirip gunung api itu. Lima belas mobil pemadam menyemburkan air diikuti dengan para pemadam yang berbaur sibuk mengeluarkan dan masuk untuk menyelamatkan orang. Kami di sana, Ita mencari kesana dan kemari tiba-tiba ia berlari membuka kantung mayat yang akan ditutup
“maaf pak, saya temannya” Ita segera membuka lagi. Segera saja mulutnya terbuka mengucap nama cynthia tanpa suara, segera saja dari kedua matanya keluar butiran-butiran air yang indah tapi membuatku sedih. Tangannya terpaku saat kantung mayat tadi di bawa pergi. Ita duduk jongkok dan membenamkan kepalanya dan menangis dengan nafas terputus-putus. Aku hanya bisa bersandar di sampingnya bersyukur pada Sang Maha Agung keputusanku tadi siang tepat aku hanya bisa terus memohon kepadaNya untuk memberikan jalan lurus kepada Ita.
Dua tahun kemudian…
“Dion, makan “ suara Ita memanggilku, seperti biasa telur bacem menu kesukaanku terhidang di atas sebuah piring kecil. Ita membetulkan Jilbabnya kemudian membagikan lauk kepada Ali yang tak jauh berbeda dari biasanya hanya saja lebih dewasa dan setelah menikah beberapa minggu yang lalu dengan Ita. Kami kini hidup di rumah baru di pinggiran kota. Setelah kejadian beberapa tahun yang lalu doaku dikabulkan Ita yang saat itu sedang gundah, di tolong oleh ali saat akan bunuh diri meloncat dari gedung. Yang kemudian ali memberikan cahaya tuntunan untuk mengapai ketenangan melalui cahaya-NYA, dan akhirnya mereka menyatukan hidup dibawah keridhoan-Nya setelah Ita menyatakan diri masuk Islam. Ita bahagia dan tenang dan kini ia bekerja sebagai pimpinan TV swasta islam dari organisasi islam Ali yang berkembang pesat sekali.

paris


 http://jiyofine.files.wordpress.com/2012/09/paris.jpg
Sore itu matahari terasa hangat menyentuh rumput-rumput di tepian menara eiffel, dua merpati saling berbincang tentang rasa di antara patahan ranting itu. Entah apa intinya, yang aku dengar hanya ini :
Boy : i’m the one and only..
Girl : berati kamu gak bakal ngajakin dinner, lunch, breakfast, hang out, spend time together ?
Boy : hmmm….aku punya cara sendiri untuk membuat senyuman…untuk membuat warna awan terlihat biru, membuat traffict light selalu berwarna ijo ketika kita lewat..
Girl : Kemarin malam aku tidur cepat sekali. Bukan, bukan karena ingin segera memimpikanmu, tapi terlalu lelah menunggumu dalam nyata
Boy : aku selalu ada diantara kelopak matamu, jangan di tunggu….coba pelajari artinya, pelajari indahnya, pelajari caranya, dan kau akan tau nantinya. terlalu banyak orang membicarakan itu cintaa…hahhh, apa mereka tau arti dari semua itu?
Girl : Aku orang yang penuh tawa, namun bukan alasan untuk kamu bisa menilaiku bermain-main saat mencintai seseorang. Terkadang Sulit untuk tidak berlebihan mencintai seseorang. Maka jadi sulit pula untuk menarik napas saat tenggelam di dalamnya.
Boy : seperti yang tertulis di paragraf 4, itulah cinta…itulah tanggung jawab, itulah yang dinamakan seorang lelaki. dan aku belum cukup lelaki untuk berbicara cinta….aku tak mau lagi menari2 diatas pangkuan udara….karena setiap gerak tak ada yang membekas. pergi lagi disapu angin…hilang lagi dihembus malam.
Girl : tiba saatnya nanti Aku akan mencintaimu dengan tenang, supaya kau tidak perlu jatuh sebab langkah yang terguncang
Boy : hanya dewi kasih yang mampu menanamkan kasih di ladang kasih, hingga tumbuh jadi pohon kasih, bersama kasih sayang #KG. aku tak mau lagi jadi sampah yang berserakan…di tertawakan…terbang terbawa angin dan tak dianggap. karena aku….ingin jadi seperti lekaki2 itu…bukan mereka
Girl : Sebab, cinta adalah perdebatan sengit yang……….selalu berakhir dengan pelukan kan?
Boy : pelukan perpisahan atau awal dari yang indah…..
Aku tak tahu artinya, sesaat setelah berbincang…merpati itu terbang mengitari indahnya kota paris. Terbang bersama atau berlainan arah…semoga tersimpulkan.