mutiara hikmah

Frame4

i love it .

,.saya suka sekali ^_^

Sabtu, 26 Juli 2014

ketika cinta meninggalkanmu

Hari ini Ibu mengantarku sampai di depan gerbang sekolah. Sebelum keluar dari mobil aku mencium tangan Ibu terlebih dahulu.
Saat aku berjalan menuju ruang kelas, tiba-tiba saja hatiku rasanya berdebar. Seperti ada sesuatu namun aku tak tahu apa itu. Aku terus saja berjalan. Dan tanpa aku duga, aku bertemu dengannya tepat di bawah tangga yang akan ku naiki. Dia adalah laki-laki yang kulihat dua hari yang lalu, saat pengenalan siswa baru kelas 10. Aku menatap matanya, dia juga membalas tatapanku. Ini adalah tatapan pertama kami. Matanya indah sekali, seketika itu aku merasakan ada perasaan yang berbeda. Tatapannya membuatku kagum. Tapi tak lama setelah itu dia langsung berpaling lalu menaiki tangga itu mendahuluiku.
**
Hari ini adalah hari pemilihan eskul bagi para siswa baru kelas 10. Sebagai senior, aku dan teman-teman akan mempromosikan berbagai jenis eskul kepada para adik kelas. Ini adalah kesempatanku untuk dapat melihatnya lagi.
Satu per satu perwakilan dari setiap eskul masuk kedalam ruang kelas itu. Saat aku memasuki ruang itu, mata ini langsung menjelajah mencari sosok laki-laki itu. Tak lama aku langsung menemukannya sedang menunduk. Dia duduk di bangku pojok paling belakang. Beberapa perwakilan sudah mulai mempromosikan eskul mereka. Sesekali aku melihat kearahnya, tapi dia terlihat tak pernah memperhatikan apa yang sedang disampaikan. Sesaat aku tersadar, Rio si kapten basket sedari tadi memerhatikan dia juga. Aku mulai merasa takut, dan tiba-tiba saja Rio menghentikan Dennis yang sedang mempromosikan eskul bulu tangkis.
“Hei kamu!” panggil Rio kasar sambil menunjuk kearahnya.
Semua orang menatap kearahnya, tapi wajahnya nampak santai tak perduli. Tiba-tiba saja dia berdiri dan menjawab Rio dengan nada cuek,
“Gue?”
“Siapa nama lo?” tanya Rio dengan nada keras.
“Nama gue Gio.”
“Dari tadi gue perhatiin lu gak pernah ngedengerin temen-temen gue ngomong kan?”
“Gue emang gak denger. Terus kenapa?”
Dia benar-benar cari mati. Omongannya tentu saja membuat hati Rio menjadi panas.
“Mau nantangin gue lu?” tanya Rio
“Sopan dong sama kaka kelas!” timpal Kiki
“Gue mau tau dong alasan lu kenapa lu gak mau ngedengerin kita?” tanya Beno dengan santai.
“Gue gak butuh eskul.” Jawab Gio sambil membuang muka.
Sekarang Rio benar-benar sudah marah. Dia berjalan mendekati Gio sambil mengepal kedua tangannya. Perasaanku semakin tidak enak. Bagaimana pun caranya aku harus mencegah Rio. Tiba-tiba saja sebuah ide gila melintas dikepalaku. Tak ada waktu lagi untuk mempertimbangkan ide gila ini. Dengan keras aku berteriak, “Gempa!!Gempa!!Ayo semua turun kebawah!” Dan berhasil! Mereka semua percaya. Semua orang terlihat panik dan berlarian ke arah bawah. Oh Tuhan, sekarang apa yang harus aku lakukan.
**
    “Tolong ya Ness.” perintah Bu Indi.
“Iya Bu,” jawabku ramah. Sebenarnya aku malas membantu Bu Indi, tapi ya sudahlah. Lagi pula ini hanya sebentar. Aku hanya harus meletakkan kertas-kertas ini di atas meja Bu Indi dan setelah itu aku bisa pulang.
Pintu ruang guru tertutup. Sepertinya guru-guru sudah pulang. Aku membukanya dan ternyata di dalam sama sekali tidak ada orang. Aku berjalan kearah meja Bu Indi lalu meletakkan kertas-kertas ini. Setelah kuletakan, aku berjalan menuju pintu tapi aku tak sengaja menyenggol tumpukan buku hingga semuanya berserakan di lantai. Betapa kesalnya aku, terpaksa aku harus merapihkan buku-buku itu. Secara tak sengaja, aku menemukan buku Gio diantara buku-buku itu. Aku mengambilnya, kuamati tulisan-tulisannya yang sulit terbaca. Dalam hatiku tertawa saat melihat banyak gambar-gambar anime yang memenuhi bukunya. Tapi aku juga kecewa karena nilai-nilainya masih banyak yang buruk. Dia pasti seseorang yang pemalas. Dan saat aku melihat halaman terakhir berisi 10 soal biologi yang hanya dijawab 2.  Oh tidak! dia mengumpulkan tugas ini hanya dengan menjawab 2 soal saja. Apa dia tidak takut jika nanti tinggal kelas. Oh Tuhan, ada apa dengannya. Apa yang membuatnya seperti ini. Air mataku menetes dengan sendirinya, jujur saja aku sangat kecewa padanya. Dengan cepat aku membereskan tumpukan buku itu dan menaruhnya di tempat semula, lalu berjalan kearah pintu dan mendorong pintu itu hingga hampir tertutup. Aku berjalan menuju meja guru paling belakang lalu duduk bersembunyi disana. Aku membuka ranselku, mengambil pulpen dari kotak pensilku, dan menjawab soal-soal yang belum diselesaikannya.
Jarum jam menunjukkan pukul lima sore. Untunglah soal-soal ini sudah selesai. Dengan cepat aku menaruh bukunya pada tumpukan buku tadi lalu meninggalkan ruang ini secepatnya.
**
  Bola itu tepat melesat di dahiku. Rasanya sakit sekali, tapi aku berusaha untuk menahannya. Terlihat samar ada seseorang yang mendekat.
“Maaf ka, kami gak seng..” tiba-tiba saja suaranya hilang.
Aku tersadar, ada rasa sakit di sekitar kepalaku. Aku melihat seseorang sedang berdiri dihadapanku saat itu.
“Ka.. Kaka udah sadar?” tanya orang itu khawatir. Aku diam tak menjawab. Kepalaku rasanya masih sangat pusing. Tiba-tiba empat orang datang mendekat. Matanya, aku melihatnya ada diantara keempat orang itu.
“Ka maafin kami ya, kami gak sengaja lempar bola ke kepala Kaka.” ucap seseorang diantara mereka. Aku masih diam tak menjawabnya. Wajah mereka nampak menyesal dan mengharapkan maaf dariku. Tapi tidak dengan Gio. Dia nampak tidak perduli. Mungkin dia tidak merasa bersalah, karena seingatku bukan dia yang melempar bola itu padaku. Tapi tak apa yang penting dia ada di sini.
“Kak.. kepala kaka masih sakit?” tanya seseorang yang lain.
“Iii..yaa,” jawabku berat.
“Maafin kami ya kak, kami bener-bener gak sengaja.” timpal seseorang lagi. Aku menatap kearah Gio. Dia hanya diam, padahal aku ingin sekali mendengar dia yang berbicara.
“Kaka maafin, tapi kalian harus ikut kelompok kaka!”
“Kelompok apaan?”
“Namanya kelompok belajar. Pokoknya ikut aja ya!” paksaku.
“Semuanya?” tanya Gio cuek. Oh Tuhan, akhirnya dia berbicara.
“Iya.” Jawabku sambil menatap matanya yang juga menatapku. Hatiku mulai berdebar lagi.
“Gi.. andai kamu tau, sebenarnya aku sengaja mendekati bola itu supaya aku terkena lemparannya. Karena dengan cara ini, aku bisa mengajakmu belajar bersamaku.” batinku.
**
Aku bodoh! Aku gak bisa lari lebih cepat lagi. Di sepanjang jalan hatiku tak pernah berhenti mengkhawatirkannya. Dia pasti sudah babak belur. Aduh!! Kenapa aku baru tahu sekarang. Aku terus saja menyalahi diriku. Tiba-tiba saja Rio yang dibimbing beberapa temannya melintas di hadapanku. Wajahnya penuh dengan luka.
“Oh Tuhan, bagaimana keadaan Gio sekarang? Dimana dia?” batinku gelisah. Aku terus berjalan menuju area perkelahian mereka. Mudah-mudahan saja dia masih ada di sana. Dan ternyata benar. Dia masih disana. Syukurlah dia baik-baik saja. Lukanya tidak separah Rio. Tersirat rasa sedikit kagum atas kehebatannya berkelahi, tapi lebih besar lagi rasa kecewaku karena perlakuannya itu.
Aku rasa aku tak perlu mengkhawatirkannya lagi karena dia nampak baik-baik saja. Secepatnya aku pergi sebelum dia melihatku. Tapi saat aku berbalik kebelakang, aku melihat dari kejauhan Pak Sano sang guru BP berjalan kearah ini bersama beberapa guru lainnya. Oh tidak! dia pasti mau mencari Gio. Seseorang pasti sudah memberitahu mereka tentang perkelahian Gio dan Rio. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menghampiri Gio. Aku menarik tangannya dan mengajaknya lari dari tempat itu.
“Kenapa tarik-tarik tangan gue sih?” tanyanya heran sambil melepas genggamanku.
“Nanti gue jelasin, sekarang kita ngumpet dulu.” ucapku berusaha meyakinkannya. Akhirnya dia mau menurutiku. Kami berlari jauh dan sepertinya Pak Sano tak akan menemukan kami. Gio menghentikan langkahnya,
“Sebenernya ada apa lu ngajak gue lari?”
“Tadi gue liat pak Sano sama guru-guru lainnya mau nyamperin lu.” Jelasku sambil bernafas terengah-engah. Dia menarik tanganku lalu menyuruhku untuk duduk di sebuah kursi kayu.
“Lu tunggu di situ!” perintahnya lalu berjalan meninggalkanku. Aku hanya diam tak mengerti. Tak lama dia datang membawa sebotol air mineral.
“Nih minum dulu,”
“Makasih,” jawabku sambil mengambil air mineral darinya. Aku meneguk air itu perlahan-lahan. Setelah itu keadaan menjadi hening. Mendadak aku menjadi gugup. Aku merasa dia sedang menatapku, sekarang hatiku mulai berdebar lagi. Kali ini debarannya lebih kencang dari biasanya. Dan saat kulihat matanya, ternyata dia memang sedang menatap kearahku. Oh Tuhan, ada apa dengannya.
“Kamu kenapa sih?” Aku memulai pembicaraan, tapi dia tidak menjawabku. Dia terus saja melihatku aneh.
“Emm.. aku pulang duluan ya,” kataku lagi padanya. Aku berdiri, tapi tiba-tiba dia menarik tanganku.
“Ness, makasih ya buat semuanya.” ucapnya. Kali ini nada suaranya terdengar berebeda. Matanya, aku melihat tatapan matanya yang tulus.
“Makasih buat apa? Yang tadi? Hahaha.. itu kebetulan doang kok.” Jawabku sambil tertawa palsu. Aku sudah tidak tahan lama-lama bersamanya, aku merasa sangat gugup. Rasanya aku ingin berlari dan berteriak mengeluarkan semua kebahagiaanku saat ini.
“Bukan hanya buat yang tadi, tapi buat semuanya Ness.”
“Semuanya apaan?” tanyaku tak mengerti. Kali ini aku benar-benar tak sanggup. Dia menggenggam tanganku, menatapku dekat.
“Aness.. aku tahu waktu itu sebenarnya gak ada gempa. Dan aku juga tahu kamu yang isi semua soal biologi aku. Kamu juga rela kena bola supaya aku mau belajar lewat kelompok yang kamu bikin sendiri itu kan. Dan tadi, kamu pasti khawatir sama keadaan aku makanya kamu datang ketempat itu kan. Ness, kamu salah suka sama aku karena aku ini bukan cowok baik-baik. Aku gak bisa jadi apa-apa buat kamu. Aku gak bisa jadi orang sehebat kamu Ness, maka dari itu kamu harus cari laki-laki yang hebat, yang baik, yang bisa senangin hati kamu.”
Aku kaget, dari mana dia tahu itu. Dan sekarang dia sudah tau segalanya, termaksud perasaanku. Tapi kenapa dia malah merendahkan dirinya sendiri.
“Gi.. aku lakuin itu karena kamu bukan karena aku hebat. Kamu yang buat aku jadi hebat. Aku suka kamu seperti apa adanya diri kamu”
“Gak Ness. Kamu gak tahu gimana perasaan aku setiap melihat kamu, aku malu Ness, aku malu. Aku ini gak ada gunanya. Lagi pula sebentarlagi aku akan pergi Ness. Jadi aku gak akan ngerepotin kamu lagi.” ucapnya sambil tersenyum manis padaku.
“Maksud kamu apa Gi? Kamu mau pergi kemana?” tanyaku tak mengerti. Perasaanku mendadak tidak enak. Aku takut, aku takut kehilangannya. Aku rela melakukan apapun untuknya asalkan aku dapat melihatnya setiap hari. Air mataku pun mulai menetes.
“Nanti kamu akan tau.” Balasnya singkat lalu meninggalkanku sendiri.
**Mulai hari ini dan hari-hari kedepannya, aku tak akan menemui sosoknya lagi. Dia sudah pergi, Gio benar-benar pergi meninggalkanku. Ucapannya waktu itu ternyata benar. Gio di DO oleh pihak sekolah, dan terakhir aku dengar kabar dia pindah bersama keluarganya ke Filipina.
Sekarang inilah kenyataannya, takdir tidak bisa menyatukanku dengannya. Air mataku sudah cukup banyak menemani kesedihanku menerima kenyataan pahit ini. Rasanya sangat sakit, ketika kita sudah terlanjur mencintai seseorang, tapi dia malah pergi dari hidup kita. Terimakasih Tuhan untuk sebuah cinta yang kau beri, walaupun kini cinta itu harus pergi meninggalkanku. Satu hal yang kuminta, Tuhan.. tolong jaga dia dimana pun dia berada saat ini. Amin. - See more at: http://blog.yess-online.com/ketika-cinta-harus-meninggalkanku#sthash.a2KcOiWj.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar