Awalnya hidup Lasi bahagia, walaupun
hanya menjadi istri dari seorang penyadap nira di sebuah kampung
pedalaman bernama Karangsoga. Kesibukannya tiap hari adalah mengolah
nira hasil panen suaminya menjadi gula kelapa. Walaupun jauh dari
kecukupan, hidup bersama seorang yang sangat dicintai adalah suatu
kebahagiaan tersendiri bagi Lasi. Bahkan, ketika suatu kecelakaan
membuat Darsa, suami Lasi, tidak mampu memberikan nafkah lahir dan
batin, Lasi tetap setia. Namun, kesetiaan itu mendapat ujian.
Tak tahan dengan pengkhianatan Darsa,
Lasi minggat. Dengan menumpang truk muatan barang, sampailah dia di
pinggiran ibukota. Takdir mempertemukan Lasi dengan Bu Lanting. Seorang
kaya yang memperlakukan Lasi dengan istimewa. Bukan tanpa alasan. Aturan
yang selama ini diyakini Lasi kebenarannya mulai terbukti. Aturan bahwa
tak ada pemberian tanpa menuntut imbalan. Dan siapa mau menerima harus
mau pula memberi. Bu Lanting menjual Lasi kepada Pak Han, seorang
konglomerat ibukota.
Sejak saat itu hidup Lasi tak ubahnya
seekor bekisar, unggas cantik yang sering menjadi hiasan rumah orang
kaya. Dengan kemewahan hidup sekarang, Lasi yang merupakan keturunan
Jepang dan berparas ayu, tidak juga merasakan kebahagiaan. Harapan
melepaskan diri dari belenggu Pak Han muncul ketika Lasi bertemu dengan
Kanjat, sahabat masa kecilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar