I.
LATAR
BELAKANG
Manusia
merupakan mahluk yang tak luput dari dosa-dosa yang secara tidak di sadari oleh
diri mereka sendiri maupun yang mereka lakukan secara sadar. Dosa-dosa tersebut
senantiasa mereka lakukan setiap saat. Sehingga tanpa disadari mereka melakukan
sebuah perbuatan yang baik serta didampingi dengan perbuatan yang buruk. Apa
bila perbuatan yang mereka lakukan tersebut bernilai baik dan bermanfaat yang
baik bagi orang lain dan dirinya sendiri maka ia akan mendapatkan pahala dan
masuk kedalam golongan penghuni surga oleh Tuhannya akan tetapi apabila ia
melakukan perbuatan yang buruk terhadap orang lain dan merugikan dirinya
sendiri dan orang lain maka ia akan mendapatkan dosa dan menjadi golongan
penghuni neraka yang akan ia terima kelak di akhirat nanti.
Segala
perbuatan manusia itu tidak luput dari pandangan Allah walaupun itu hanya
dirinya sendiri yang mengetahuinya. Barang
siapa yang melakukan amal saleh, baik itu laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[1]
Kaum
Mu’tazilah percaya bahwasanya semua perbuatan yang manusia lakuakn di dunia
pasti akan mendapatkan balasanya di hari kiamat nanti. Mereka yang berdosa
besar dan kafir akan masuk kedalam neraka dan kekal didalamnya, mereka yang
berbuat baik dan taat kepada perintah-Nya akan mendapat pahala dan masuk surga
dan orang yang berdosa besar akan tetapi masih percaya kepada Tuhan dan Nabi
Muhammad SAW akan masuk kedalam neraka yang maan tidak seberat siksa orang
kafir.
Ø Bagaimana prinsip tempat diantara dua
tempat menurut ajaran Mu’tazilah?
Ø Bagaimana prinsip janji dan cancaman
Allah menurtut ajaran Mu’tazilah?
Ø Bagaimana prinsip amal makruf nahi
munkar menurut ajaran Mu’tazilah?
III.
PEMBAHASAN
A.
Tempat diantara Dua Tempat
Pengertian dari tempat diantara dua
tempat atau al manzilah bain al
manzilatain yaitu tempat yang berada
di tengah – tengah. Menurut pendapat Abu
Huzaifah Washil ibn Atha Al-Gazzal al-Altsga atau Wasil bin atha (80-131 H). Sebuah
iman terdiri dari unsur-unsur kebaikan. Apabila semuanya lengkap dinamakan
orang beriman yang terpuji. Sebaliknya orang yang munafik ia tidak dapat
dikatakan orang yang terpuji dan beriman dan tidak dapat dikatakan orang yang
celaka yang kafir.[2] Maksudnya, dalam kehidupannya tidak dapat di
pungkiri bahwa persaksian dan segala perbuatan kebaikannya masih ada dalam
dirinya walau hanya sedikit. Sehingga apabila ia meninggal dalam keadaan
melakukan dosa besar dan belum melakuakn tobat maka dirinya termasuk salah satu
dari penghuni neraka yang kekal disana, sebab di akhirat hanya ada dua kelompok
yaitu penghuni surga dan neraka, akan tetapi siksa yang ia terima di dalam
neraka tersebut tidaklah berat seperti dosa orang yang kafir.
Sedangkan tampat dimana orang orang
yang mempunyai dosa besar maupun kecil ia akan dimasukan kedalam neraka dan
orang-orang kafir (tidak beriman) akan berada selamanya di dalam neraka.
Sedangkan orang mukmin yang yang berdosa ia akan masuk kedalam neraka sebagai
penebus dosanya yang telah diperbuatnya semasa hidup di dunia, sebanyak dosa
yang ia perbuat, kecuali mendapat syafa’at Nabi Muhammad SAW atau mendapat
rahmat Allah SWT.[3]
Menurut Wasil bin atha manusia yang
melakukan dosa besar itu tidak kafir dan tidak mukmin akan tetapi ia fasik.
Tingkatan orang fasik itu berada di bawah orang mukmin dan diatas orang kafir.[4]
Dalam artian seorang muslim yang melakukan sebuah dosa besar ia bukan termaksud
orang kafir dan juga bukan orang mukmin akan tetapi dia termasuk dalam golongan
orang fasik. Yaitu golongan yang berada diantara orang mukmin dan orang kafir.
Menurut pendapat Abu Huzailiyyah
Hamdan ibn Huzail al-Allaf atau Al-Huzailiyyah (135-266 H). Ia berpendapat apa
yang berlaku di akhirat juga berdasarkan takdir Allah. Menurutnya Orang yang
kekal di dalam neraka adalah berdasarkan takdir Allah dan tidak ada seorang
juapun yang dapat mengelaknya. Karena semuanya adalah ciptaan Allah bukan
manusia, karena itu kalau termaksud usaha manusia dapat menghindarinya.[5]
Proses orang yang kekal di dalam
neraka terputus dan tidak menerima perubahan. Kumpulan kebaikan bagi ahli surga
dan kumpulan kesengsaraan bagi ahli neraka.[6]
Maksud pendapat ini ialah segala amal perbuatan yang ia lakukan semasa di dunia
tidak merubah bahwa ia akan berada di dalam neraka apabila ia melakukan
dosa-dosa dan tidak mengalami perubahan di dalamnya. Sehingga pendapat ini
menyatakan bahwasanya surga dan neraka akan fana. Hal ini dikaitkan bahwa alam
seluruhnya bersifat baharu, artinya alam ada yang berawal dan ada yang
berakhir. Sehingga alam yang baharu yang berawal yang menerima perubahan yang
tidak statis.
Posisi menengah bagi pembuat dosa
besar, juga erat hubunaganya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukan
kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad SAW, tetapi
bukanah mukmin karena imanya tak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak
dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula, ia sebenarnya tidak mestinya
masuk ke neraka. ia seharusnya di tempatkan di luar surga dan di luar neraka.
inilah sebenarnya keadilan, tetapi di akhirat tidak ada tempat lain dari surga
dan neraka, maka pembuat dosa besar harus dimasukan kedalam salah satu tempat
ini. penentuan tempat itu banyak faham mu’tazilah tentang iman. Iman bagi
Mu’tazilah ialah digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan,
tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian perbuatan dosa besar
tidak beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga. Tempat satu satunya
ialah neraka. tetapi tidak adil kalau ia masuk dalam neaka yang sama mendapat
siksaan yang sama berat dengan orang kafir. Oleh karena itu pembuat dosa besar
memang betul masuk ke dalam neraka akan tetapi dengan siksa yang lebih ringan
daripada siksa orang kafir. Inilah menurut ajaran Mu’tazilah, tempat diantara
dua tempat yaitu posisi di tengah antara mukmin dan kafir yaitu orang fasik
inilah yang disebut dengan keadilan.
B.
Janji dan Ancaman Allah
Manusia
di ciptakan oleh Allah di muka bumi ini atas kehendak-Nya. Dialah yang menjamin
kehidupan kita selama di dunia ini. Allah lah yang menghidupkan dan mematikan
dan memberikan rezeki kepada setiap mahluk yang hidup untuk terus beribadah dan
sujud kepada-Nya. Allah memberikan janji-janji yang idah kepada manusia dan dia
juga memberikan peringatan dan ancaman
yang sangat menakutkan kepada manusia pula. Janji indah itu di sebut “Al-Wa’d” dan ancaman yang menakutkan
disebut ”Al-Wa’id”. [7]
Tuhan tidak akan dapat disebut adil, jika ia tidak memberikan pahala kepada
orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk.
Keadilan menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi hukuman dan orang
yang berbuat baik di beri upah atau pahala, sebagaimana yang telah di janjikan
Allah.[8]
Janji
adalah sebuah akad pemberian manfaat / kebaikan antara dua belah pihak. Sebenarnya
tanpa janji pun Allah sudah memberikan kehidupan . masalahnya, hidup memang
harus berkambang dan harus maju, maka Allah membuat janji demi kehidupan
manusia[9].
Dengan janji yang telah dibeikan itu manusia dituntut untuk melakukan ibadah
dan menetapkan iman dan takwa di dalam hatinya agar tidak melakukan perbuatan
perbuatan yang menyebabkan dosa yang mana tanpa disadari oleh manusia itu
sendiri. Apabila seseorang yang beriman dan bertakwa ia akan senantiasa untuk
terus berbuat baik dan mencoba untuk tidak melakukan perbuatan perbuatan yang
menimbulkan tumbuhnya dosa. Ancaman akan diberikan allah kepada hamba-hambanya
yang senantiasa melakukan segala bentuk dosa kecil maupun besar yang mana akan
di berikan secara langsung di dunia maupun di akhirat nanti.
Aliran
Mu’tazilah menyakini bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala-Nya dan ancaman
akan menjatuhkan siksanya atas mereka kelak pada hari kiamat nanti pasti
dilakasanakan. Orang yang hidup dengan segala ketaan dan penuh taubat, ia
berhak akan pahala, sedangkan orang yang hidup tanpa taubat dari dosa besar
yangpernah ia lakukan, maka ia akan abadi di dalam neraka, meskipun lebih
ringan siksanya daripada orang kafir. Faham ini mengingkari adanya “ Syafa’t “
padahari kiamat dengan menyampingkan ayat-ayat yang menetapkan adanya “
Syafa’at “.[10]
Dan mengingkari ayat-ayat yang meniadakanya[11]
sebab “ Syafa’at “ berlawanan dengan sejarah janji dan ancaman.
Tuhan
tidak bisa dikatakan adil apabila Ia tidak memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan jika tidak menghukun orang yang berbuat buruk. Keadilan
menghendaki bahwa orang yang berbuat baik mendapatkan uapah berupa pahala dan
orang yang berbuat salah mendapatkan upah pula berupa hukuman sebagaiman yang
telah dijanjikan oleh Tuhan.[12]
C.
Amal Makruf Nahi Munkar
prinsip
ini lebih banyak pertalian dengan amalan lahir dan lapangan fiqih daripada lapangan
kepercayaan dan ketauhidan. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang memuat prinsip ini.[13]
pinsip yang harus di lakukan dan menjadi pedoman manusia untuk melakukan
perbuatan yang baik sesuai dangan ajaran agama dan memberikan petunjuk bagi
orang-orang yang sesat dan mencegah perbuatan yang bisa menyesatkan mereka.
Sejarah
menyebutkan betapa gencarya orang-orang Mu’tazilah mempertahankan islam
terhadap kesesatan kesesatan yang menyebar luas pada permulaan masa ‘Abbasijang
yang hendak menghancurkan kebenaran-kebenaran islam, bahkan mereka tidak
segan-segan menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut, meskipun
terhadap golongan-golongan islam sendiri, sebagaimana yang dialami oleh ahli
hadis dalam masalah quran. Menurut orang-orang Mu’tazilah, orang orang yang
menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus diluruskan. Jalan yang digunakan
oleh orang-orang Mu’tazilah untuk mempertahankan agama islam melalui prinsip
yang dianutnya untuk menegakkan amal makruf nahi munkar bersifat tegas dan
tidak memandang hal apapun. Maksudnya, apabila suatu hal yang tidak sesuai
dangan prinsip mereka maka mereka harus meluruskan sesuai denganprinsip yang
dianut oleh orang Mu’tazilah, terkadang dalam pelaksanaan untuk menegakkan
prinsip tersebut terkadang juga menggunakan jalan kekerasan.
Ajaran
ini dengan amalan lahir dari lapangan fiqh daripada lapangan kepercayaan dan
ketauhidan. Prinsip ini diharuskan setiap muslim untuk menyiarkan agama dam
memberi petunjuk kepada orang yang sesat.
Kaum Mu’tazilah telah melepaskan
akal sebebas-bebasnya dalam membaha semua persoalan tanpa menganal batas, baik
yang berhubungan dengan alam dunia ( langit, bumi dan manusia ) dan Tuhan.
Tidak ada daerah terlarang bagi akal fikiran karena akal fikiran diciptakan
untuk mengetahui serta mencari dan memang ia dapat mengetahui segala sesuatu,
sampai pembahasan diluar alam ( metafisika ). Ketidak raguan mereka dalam
memagangi hasil pemikiranya, maka mereka hanya mau menerima dahlil dahlil naqal
yang sesuai dengan dahlil – dahlil akal fikiran dan mena’wilkan yang
menyalahinya.akal fikiranlah yang menjadi hakim terhadap ayat-ayat mutasyabihat
dan hadis hadis yang tidak yang tidak sejalan dengan ketentuan akal fikiran.[14]
filosof-filosof
islam adalah filosof yang bergama, yang baru mengarahkan pandanganya kepada
agama, apabila sesuatu fikiran filsafat berlawanan dengan agama untuk kemudian
diusahakan pemaduanya. Tetapi kaum Mu’tazilah berbeda, kerana mereka
ulama-ulama agama yang berfilsafat dimana perhatianya yang utama ialah
mekfilsafatkan agama dan mengusahakan agar isi Al-Quran dapat masuk akal.
IV.
PENUTUP
v Simpulan
Prinsip
prinsip yang dipegang teguh oleh kaum Mu’tazilah ialah sebuah prinsip yang
didasarkan pada Al-Quran yang mana mereka berusaha untuk menyesuaikan dengan
akal pikiran manusia. Mereka beragngapan bahwa orang yang berdosa besar tetapi
masih percaya dengan Tuhan dan Nabi Muhammad SAW itu tidak bisa dikatakan orang
kafir akan tetapi ia juga tidak bisa dikatakan orang mukmin. Mereka adalah
orang orang yang masuk dalam golongan fasik. Yaitu orang yang berada diantara
orang kafir dan mukmin. Mereka percaya bahwa janji dan ancaman Tuhan pasti
dilaksanakan pada hari kiamat nanti. Apabila orang orang yang berbuat baik akan
mendapatkan pahala dan masuk surga, orang yang berbuat buruk akan mendapatkan
hukuman dan masuk kedalam neraka dan orang yang berdosa besar tetapi masih
percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad SAW mereka akan dimasukan ke dalam
neraka akan tetapi mereka tidak disiksa seberat orang kafir.
DAFTAR
PUSTAKA
Aman
Saefuddin. Menagih Janji Tuhan.
Jakarta Selatan:P.T AL-MAWARDI PRIMA. 2004
Maman
Abdul Djaliel dan Abdullah Zakiy Al Kaaf. Mutiara
Ilmu Tauhid. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1999
Romas,
Ahmad Ghofir. Ilmu Tauhid. Semarang:
Badan Penerbit Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. 1997
Asywadie
Syukur. Al-Milal wa Al-Nihal.
A
Hanafi MA. Pengantar Theology Islam.
Nasution
Harun. Teologi Islam. Jakarta.
Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.1997
[1] Al Qur’an Surat An-Nahl:97
[2] Asywadie syukur. al-milal wa al
nihal.hal 42
[3] Abdullah zakiy Al Kaaf dan Maman Abdul Djaliel. Mutiara Ilmu Tauhid. Hal 256
[4] A. Ghofir Romas. ilmu tauhid. Hal 96
[5] Op. Cit. .hal 43
[6] Ibid
[7] Saefuddin Aman. Menagih Janji Tuhan.
Hal 24
[8] Prof. Dr. Harun Nasution. Teologi
Islam. Hal 55
[9] Loc. Cit. hal 24
[10] Q.S Saba’ : 22 dan Q.S Toha :108
[11] Q.S Al-Baqarah : 254 dan 45
[12] Loc. Cit. Hal 55
[13] A Hanafi MA. Pengantar Theology Islam. Hal 44
[14] Op. Cit. Hal 199
Tidak ada komentar:
Posting Komentar